26 Mei 2013

Sedikit melenceng dengan topik blog, tapi tetap di jalur civil engineering, saya akan berbagi cerita mengenai sejarah (yang menjadi salah satu ketertarikan saya) teknologi di negara kita. Semoga dapat menambah wawasan kita semua.


Salah satu pintu irigasi yang dibangun oleh Sultan Ageng Tirtayasa

Batu bata-batu bata itu sudah renta, melapuk, berlumut, dan ditumbuhi tanaman liar. Terinjak atau tertekan sedikit saja langsung remuk. Bukan hanya itu, sebagian batu bata tersebut mencuat dan remuk akibat lilitan dan cengkeraman akar pohon beringin besar yang kokoh.

Setiap banjir melanda, seperti pertengahan Januari 2013, bata-bata lapuk itu tergerus air. Apalagi jika menjadi tumpuan kaki-kaki para pemancing dan warga setempat, bata-bata pembentuk saluran irigasi pintu air tak berpagar tersebut tentunya akan semakin mendekati titik kehancurannya.

Begitulah potret salah satu bangunan teknologi keairan (hidrolik) Sultan Banten VI Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1682) di situs Tirtayasa, Desa Bendung, Kecamatan Tanara, Kabupaten Serang, Banten. Kondisi serupa juga terjadi pada bangunanbangunan lain peninggalan Tirtayasa, ”Sang Pembangun Pengairan”.

Menelusuri jejak-jejak teknologi hidrolik Sultan Ageng Tirtayasa menimbulkan kekaguman sekaligus keprihatinan. Kagum lantaran pada zaman dahulu pertanian sudah didukung dengan teknologi pengairan yang tertata dan terkelola baik.

Prihatin karena peninggalan salah satu titik pijak teknologi pengairan di bidang pertanian itu tidak terabadikan dengan baik. Padahal, bangunan bernilai sejarah tinggi itu dapat menjadi materi studi arsitektur, teknologi, dan tata kelola air, khususnya di kawasan rawa pantai.

Mengatasi rawa

Sultan Ageng merupakan putra Sultan Abdul Ma’ali Ahmad (Sultan Banten periode 1640-1650) dan Ratu Martakusuma. Dia diangkat sebagai sultan pada 1651 dan bergelar Sultan Abdul Fathi Abdul Fattah.

Untuk menghindari persekongkolan dengan perserikatan perusahaan Hindia Timur (VOC) di lingkup Kesultanan Banten (sekarang Banten Lama), Sultan Ageng membangun keraton baru di Dusun Tirtayasa yang berjarak sekitar 10 kilometer dari Banten. Di kawasan rawa pantai itulah Sultan Ageng mendapat julukan Sultan Ageng Tirtayasa karena membangun teknologi hidrolik untuk mengembangkan ekonomi berbasis pertanian dan perkebunan.

Merie Calvin (MC) Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern (2008) menyebutkan, Sultan Ageng sangat menaruh perhatian pada pengembangan sumber daya pertanian negaranya. Pada 1663-1677, dia membangun sistem irigasi besar-besaran di Banten.

Kanal-kanal baru sepanjang 30-40 km dibangun dengan mempekerjakan 16.000 orang. Sepanjang kanal-kanal itu dibuka 30.000-40.000 hektar persawahan baru dan ribuan hektar perkebunan kelapa. Sekitar 30.000 petani ditempatkan di lahan-lahan ini.

Sultan Ageng membangun sistem irigasi itu di daerah lembah Sungai Ciujung dan Durian serta lembah Sungai Cimanceuri (sekarang daerah Kronjo). Hal itu dapat dilihat dari jejak-jejak peninggalan bangunan-bangunan sistem irigasi tersebut.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional mencatat, peninggalan arkeologi yang berkaitan dengan irigasi di lembah Cimanceuri berujung di daerah Balaraja. Peninggalan itu berupa tiga pintu air yang salurannya bersumber dari Sungai Cimanceuri dan Rawa Rancailat. Salah satu pintu air strukturnya berada di tengah sungai yang diduga merupakan kanal yang sengaja dibuat untuk mengalirkan air dari rawa Rancailat.

Adapun peninggalan yang berada di antara Sungai Cidurian dan Ciujung berupa pintu air. Pintu air itu menjadi penanda adanya sodetan yang mengalirkan air dari Sungai Cidurian ke Ciujung dengan dua kanal buatan.

Kanal pertama dikenal sebagai kanal sultan yang panjangnya 9 km. Sampai sekarang kanal buatan sultan ini masih dapat dilihat dan dimanfaatkan untuk pengairan. Selain itu, ditemukan pula dua pintu air, saluran kontrol bawah tanah, dan pintu air berbentuk jembatan di sepanjang kanal tersebut.

Kanal kedua disebut saluran Jongjing yang panjangnya 9 km menuju ke arah Kampung Sujung. Di sepanjang kanal itu terdapat lima bendungan yang dilengkapi dengan dua pintu air. Namun, hanya tiga bangunan yang masih dapat dilihat hingga sekarang, yaitu di Kampung Endol, Cerucuk, dan Sujung. Di kanal itu terdapat pula jejak-jejak tandon dan tangga-tangga air dengan memanipulasi elevasi air.

Peneliti teknologi hidrolik dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional, Sony Wibisono, mengatakan, teknologi hidrolik Sultan Ageng merupakan sebuah sistem yang dibuat untuk menyediakan, mengendalikan, dan mengelola air di daerah rawa pantai Banten. Sebelumnya air yang ada di alam ini sifatnya ”liar” dan mengalir ke daerah rendah mengikuti kontur bumi, mengikuti lembah sungai.

Ketika berlebih pada musim hujan, air bisa mengisi apa saja dalam bentuk banjir. Namun, saat kering air terjebak dalam cekungan-cekungan seperti rawa. Air yang seperti itu acap kali tidak dapat dimanfaatkan karena bercampur dengan air laut dan menjadi air payau.

”Apa yang dilakukan Sultan Ageng adalah sebuah teknologi yang diartikan sebagai cara atau siasat yang dilakukan untuk mengendalikan air liar itu menjadi bermanfaat secara optimal,” kata Sony.

Ia menambahkan, Sultan Ageng memodifikasi lingkungan seperti itu dengan membuat sodetan dari sumber air induk sungai dan rawa-rawa. Dia membangun kanal-kanal untuk menyalurkan air dan membuat bangunan pengairan (bendungan dan pintu air) untuk mengendalikan, menaikkan, serta memindahkan aliran air.

Tidak mengherankan jika peneliti asal Perancis dan juga penulis buku Sejarah Banten, Claude Guillot, menyebut Sultan Ageng sebagai teknokrat visioner yang egaliter serta terbuka menerima ilmu pengetahuan dan teknologi. Guillot mencatat, untuk pembangunan teknologi tata kelola air irigasi persawahan, Sultan Ageng mendatangkan seorang konsultan dari Belanda bernama Willem Caeff.

”Sultan dikenal sebagai ahli strategi perencanaan logistik andal pada zamannya. Sultan membangun irigasi multifungsi. Irigasi bukan hanya untuk kepentingan ekonomi pertanian, melainkan juga jalur transportasi dan pertahanan negara. Sultan mampu menciptakan konsep terpadu dalam menyiapkan infrastruktur sehingga keterbatasan diubah menjadi keunggulan,” tulis Guillot.

Perlu dilestarikan

Sony mengemukakan, mahakarya Sultan Ageng itu dapat dikatakan sebagai embrio pembangunan pembukaan tanah pertanian intensif di wilayah yang kini menjadi salah satu lumbung pangan nasional itu. Teknologi hidrolik itu merupakan fenomena budaya yang sering dipakai para ahli untuk menandai kemajuan atau keunggulan sebuah peradaban (civilization).

Teknologi itu bukan hanya rumit dalam proses pembuatannya karena menggunakan perhitungan, penguasaan pengetahuan air dan bumi atau lingkungan. Saat difungsikan, teknologi itu membutuhkan pengelolaan dan organisasi yang cermat.

”Tidak hanya pengerahan massal, tetapi juga untuk merawat, mencermati penjadwalan musim, dan menumbuhkan spesialisasi pekerjaan seperti ulu-ulu air yang menjaga tanggul, membagi air, dan membersihkan pintu air dari sedimen,” ujarnya.

Juru pelihara Balai Penyelamatan Situs Tirtayasa, Akhmad Taini, mengemukakan, bangunan-bangunan itu memang kurang terawat karena keterbatasan dana. Bangunan-bangunan itu juga belum berpagar keliling sehingga orang mudah keluar masuk lokasi.

”Selama ini tidak ada biaya perawatan dari pemerintah. Biaya perawatan itu sudah termasuk dalam gaji juru pelihara. Warga setempat juga kurang peduli karena belum tahu kalau peninggalan itu sangat bernilai,” kata Akhmad. (HENDRIYO WIDI)
 
Sumber :
Kompas Cetak

0 komentar:

Posting Komentar